Fenomena Quiet Quitting, Cara Gen Z Menolak Burnout

Ilustrasi dunia kerja dan bisnis.
Sumber :
  • VIVA

Ketiga, quiet quitting juga didorong oleh kebutuhan untuk menata ulang prioritas hidup. Alih-alih mengejar promosi yang bikin stres, banyak pekerja memilih waktu berkualitas bersama keluarga atau mengejar passion lain di luar kantor.

Quiet Quitting Tidak Sama dengan Malas

Salah kaprah yang sering muncul, quiet quitting dianggap sama dengan malas bekerja. Padahal, keduanya berbeda. Quiet quitting justru tetap berpegang pada kontrak kerja. Pekerjaan selesai tepat waktu, kualitas kerja tetap terjaga, hanya saja tidak ada lagi over-delivering.

Sikap ini mengajarkan batasan yang sehat antara profesionalitas dan self-care. Karyawan belajar bilang “tidak” untuk tugas tambahan yang di luar kesepakatan awal. Di satu sisi, ini memaksa perusahaan lebih transparan soal kompensasi dan distribusi beban kerja.

Bagaimana Cara Melakukan Quiet Quitting?

Bagi kamu yang ingin mencoba quiet quitting, kuncinya adalah komunikasi. Sampaikan dengan baik ke atasan bahwa kamu berusaha menjaga produktivitas tanpa harus memangkas waktu pribadi. Bangun reputasi sebagai pekerja yang bisa diandalkan, bukan ‘karyawan malas’.

Selain itu, tetapkan batasan yang jelas. Matikan notifikasi email kantor di malam hari, alokasikan jam kerja secara optimal, dan jangan ragu mengajukan penolakan jika diminta lembur tanpa kompensasi.