Fenomena Childfree Meningkat, Ini Kata Pemprov DKI
- VIVA
Tangerang – Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menilai tren childfree—yakni keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak—sebagai bagian dari perubahan sosial yang mencerminkan pergeseran pandangan masyarakat terhadap hak individu.
Menurut Kepala Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta, Iin Mutmainnah, konsep childfree muncul seiring meningkatnya kesadaran terhadap hak atas kesehatan reproduksi dan kebebasan dalam merancang masa depan.
Dalam pernyataannya pada Senin (3/8), Iin menjelaskan bahwa pilihan untuk hidup tanpa anak dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti aspirasi karir, kestabilan ekonomi, kesehatan mental, kondisi sosial, serta persepsi terhadap peran keluarga dan pola asuh anak. Namun, hingga kini, Pemprov DKI belum melakukan survei resmi terkait fenomena ini di wilayah Jakarta.
“Fenomena childfree termasuk dinamika sosial yang berkembang di kota besar seperti Jakarta dan bisa berdampak pada struktur demografi ke depan,” ujar Iin.
Dinas PPAPP menegaskan pentingnya pemahaman mendalam terhadap faktor-faktor yang mendorong keputusan ini, khususnya aspek sosial dan ekonomi. Iin mengimbau setiap pasangan untuk menyusun rencana keluarga dengan bijak, berdasarkan informasi yang akurat dan disertai tanggung jawab sosial yang kuat.
“Pembangunan keluarga yang berkualitas tetap harus menjadi prioritas, karena keluarga adalah fondasi utama dalam membentuk manusia dan masyarakat,” tambahnya.
Iin juga menekankan pentingnya edukasi mengenai hak-hak reproduksi agar pasangan menikah dapat membuat keputusan yang tepat dan terencana.
Sementara itu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2022 menunjukkan bahwa terdapat sekitar 71 ribu perempuan Indonesia berusia subur (15–49 tahun) yang telah menikah tetapi belum pernah melahirkan, dan menyatakan tidak ingin memiliki anak.
Berdasarkan analisis BPS, sebagian besar perempuan yang memilih jalur childfree cenderung memiliki tingkat pendidikan tinggi atau sedang menghadapi tekanan ekonomi. Dalam jangka pendek, fenomena ini dapat mengurangi beban subsidi pemerintah di sektor pendidikan dan kesehatan. Namun, dalam jangka panjang, kesejahteraan lansia dari kelompok ini berpotensi menjadi tanggung jawab negara, terutama jika mereka tidak memiliki jaringan keluarga yang mendukung.