Fenomena Quiet Quitting, Cara Gen Z Menolak Burnout

Ilustrasi dunia kerja dan bisnis.
Sumber :
  • VIVA

Tangerang – Beberapa tahun terakhir, istilah quiet quitting makin sering muncul di media sosial, terutama di kalangan Gen Z dan milenial. Meskipun sekilas terdengar seperti resign secara diam-diam, sebenarnya quiet quitting justru bukan tentang benar-benar mengundurkan diri. Lalu, apa sebenarnya arti quiet quitting? Kenapa fenomena ini dianggap sebagai bentuk protes diam-diam terhadap budaya kerja berlebihan?

Apa Itu Quiet Quitting?

Quiet quitting merujuk pada sikap karyawan yang memutuskan untuk bekerja sebatas job desk mereka. Mereka tetap hadir, menyelesaikan tanggung jawab sesuai kontrak, tetapi menolak melakukan pekerjaan di luar tugas pokok. Jadi, tidak ada lagi lembur tanpa kompensasi, menjawab email di luar jam kerja, atau merespons chat bos saat libur.

Fenomena ini tumbuh karena semakin banyak orang sadar bahwa work-life balance bukan sekadar jargon HRD belaka. Di era digital, beban kerja yang fleksibel justru sering dimanfaatkan perusahaan untuk meminta karyawan stand by 24 jam. Akibatnya, burnout pun tak terhindarkan.

Kenapa Quiet Quitting Muncul?

Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi quiet quitting. Pertama, pandemi COVID-19 membuka mata banyak orang bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan stabilitas karier. Ketika ruang kerja berpindah ke rumah, batas antara hidup pribadi dan profesional menjadi kabur.

Kedua, generasi muda lebih vokal soal keadilan di tempat kerja. Mereka sadar hak-hak pekerja sering diabaikan atas nama loyalitas. Jadi, quiet quitting dipandang sebagai bentuk perlawanan halus: “Aku kerja sesuai gaji, tidak lebih.”