Gaza Kian Terkepung: PBB Sebut Krisis Kemanusiaan Terburuk Akibat Serangan Israel

Penduduk Gaza Palestina antre makanan.
Sumber :
  • VIVA

VIVA Tangerang – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan peringatan keras mengenai kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza yang semakin memburuk. PBB menyebut bahwa krisis yang dihadapi warga Gaza saat ini adalah yang paling parah sejak serangan Israel dimulai 18 bulan lalu.

Menurut juru bicara PBB, Stephane Dujarric, situasi yang terjadi bukan sekadar memburuk, namun telah mencapai titik yang sangat mengkhawatirkan.

“Kondisi kemanusiaan di Gaza saat ini kemungkinan merupakan yang terburuk sejak konflik ini meletus. Tidak ada bantuan yang masuk selama lebih dari satu setengah bulan,” tegas Dujarric dari Markas Besar PBB.

Bantuan Tertahan, Warga Gaza Terjebak dalam Zona Bahaya

Selama 45 hari terakhir, Israel disebutkan sepenuhnya memblokir jalur masuk bantuan kemanusiaan ke Gaza. Ini merupakan penghentian bantuan terpanjang sejak eskalasi konflik dimulai pada Oktober 2023. Dampaknya sangat nyata: ribuan warga kini hidup tanpa akses terhadap kebutuhan dasar seperti air bersih, makanan, dan layanan medis.

Parahnya lagi, otoritas Israel pada akhir pekan lalu mengeluarkan empat perintah evakuasi baru, yang memaksa ribuan warga untuk meninggalkan tempat tinggal mereka dan mengungsi ke wilayah yang lebih padat dan tak aman.

Warga Palestina di Gaza.

Photo :
  • VIVA

“Kini warga sipil Gaza hidup dalam kantong-kantong wilayah yang semakin sempit dan terfragmentasi, tanpa jaminan keselamatan dan dengan akses terbatas terhadap layanan dasar,” lanjut Dujarric.

PBB juga mencatat bahwa sekitar 70 persen wilayah Gaza telah ditetapkan sebagai zona evakuasi atau zona terlarang. Hal ini tidak hanya menyulitkan evakuasi warga, tetapi juga menghambat operasi distribusi bantuan, bahkan untuk air bersih yang tersisa.

“Separuh dari sumur air bersih tak bisa dijangkau karena perintah pengungsian ini,” ungkap Dujarric.

Apakah Ini Kejahatan Perang? PBB Serahkan pada Hukum Internasional

Ketika ditanya apakah pemblokiran bantuan kemanusiaan oleh Israel dapat dikategorikan sebagai kejahatan perang, Dujarric tak memberikan jawaban pasti, namun menekankan bahwa tindakan tersebut melanggar hukum internasional.

“Sebagai kekuatan pendudukan, Israel berkewajiban menyediakan bantuan dan layanan dasar bagi warga Gaza. Fakta bahwa itu tidak terjadi adalah pelanggaran nyata terhadap hukum internasional,” ujar Dujarric.

Pernyataan PBB ini memperkuat kecaman internasional yang terus mengalir terhadap agresi Israel yang kembali meningkat sejak 2 Maret lalu, ketika seluruh perbatasan Gaza ditutup dan pasokan penting diblokir. Israel juga menghentikan kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang sebelumnya diberlakukan sejak Januari, dengan kembali melancarkan serangan besar-besaran pada 18 Maret.

Puluhan Ribu Korban Jiwa, Mayoritas Perempuan dan Anak-Anak

Sejak awal agresi militer Israel di Gaza pada Oktober 2023, lebih dari 51.000 warga Palestina dilaporkan tewas, dan mayoritas di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Serangan tanpa henti ini telah meluluhlantakkan infrastruktur vital seperti rumah sakit, sekolah, fasilitas air, dan listrik, menjadikan kehidupan sehari-hari warga Gaza seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai.

Pada November 2024, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) bahkan telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Selain itu, Israel saat ini juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ) atas tindakan militernya terhadap penduduk sipil di Gaza.

Krisis yang Membutuhkan Respons Global

Dengan semakin terkikisnya ruang aman dan tertundanya distribusi bantuan, krisis kemanusiaan di Gaza tidak lagi dapat dipandang sebagai konflik lokal. Ini telah menjadi tragedi kemanusiaan global yang memerlukan perhatian dan aksi konkret dari seluruh komunitas internasional.

PBB menyerukan kembali kepada semua pihak, khususnya otoritas Israel, untuk segera membuka akses bantuan dan menghentikan kebijakan yang memperparah penderitaan jutaan warga sipil. (Antara)