5 Fakta Menarik tentang Wacana Haji Jalur Laut: Romantisme Sejarah atau Solusi Transportasi?
- VIVA
VIVA Tangerang – Pemerintah kembali mewacanakan penggunaan jalur laut sebagai alternatif pelaksanaan ibadah haji di masa depan. Meski terdengar seperti menghidupkan kembali romantisme sejarah Islam di Nusantara, wacana ini memicu pro dan kontra.
Berikut ini adalah 5 fakta menarik tentang haji jalur laut yang perlu Anda ketahui — mulai dari potensi hingga tantangan nyata dalam pelaksanaannya.
1. Jalur Laut Bukan Hal Baru, Tapi Punya Sejarah Panjang
Indonesia pernah memiliki tradisi kuat dalam pelaksanaan haji melalui jalur laut, terutama sebelum era penerbangan modern. Kapal legendaris seperti Belle Abeto dan Gunung Jati pernah mengangkut ribuan calon haji dari pelabuhan-pelabuhan utama di Jawa dan Sumatra menuju Tanah Suci.
Namun, perjalanan tersebut bisa memakan waktu hingga tiga hingga empat bulan, belum termasuk proses pemberangkatan dan karantina.
Menteri Agama Nasaruddin Umar menyatakan bahwa secara historis, jalur laut memang ada, tetapi saat ini perlu dikaji ulang dari segi waktu dan efisiensi biaya.
Jemaah Haji di Jabal Rahmah Arafah.
- VIVA
2. Cocok untuk Paket Khusus, Bukan Solusi Utama
Menurut Anggota Pansus Haji 2024, Luluk Nur Hamidah, haji jalur laut bisa dijadikan sebagai paket khusus, misalnya sebagai bentuk wisata religi atau program napak tilas sejarah Islam.
Beberapa jamaah bahkan tertarik menjalani pengalaman spiritual unik seperti berjalan kaki dari Madinah ke Mekkah, untuk merasakan semangat perjuangan ala zaman Rasulullah.
“Kalau untuk paket opsional, silakan saja. Tapi jangan dijadikan solusi utama karena pengelolaan haji jalur udara kita belum maksimal,” ujar Luluk.
3. Layanan Jalur Udara Perlu Dibenahi Dulu
Pemerintah dinilai seharusnya fokus memperbaiki manajemen dan pengawasan haji jalur udara terlebih dahulu. Luluk menyebut adanya monopoli maskapai dalam penyelenggaraan haji tahun-tahun sebelumnya sebagai salah satu penyebab ketidakefisienan.
Padahal, Indonesia memiliki banyak maskapai domestik yang bisa dilibatkan jika pengaturannya lebih terbuka dan profesional.
“Bukan karena kita kekurangan armada, tapi mungkin manajemennya yang belum baik,” tegas Luluk.
4. Jalur Laut Punya Potensi Ekonomi, Tapi Risiko Besar
Dari sisi ekonomi, jalur laut memang menjanjikan, terutama untuk pengembangan sektor maritim, pelayaran nasional, dan ekowisata religi. Namun, tantangan teknis dan keselamatan tetap besar, mulai dari durasi perjalanan yang panjang, risiko kesehatan jamaah lansia, hingga keterbatasan fasilitas medis di kapal.
Kemenag menegaskan bahwa kajian mendalam masih terus dilakukan sebelum opsi ini benar-benar diterapkan.
“Malaysia lebih agresif soal ini, tapi Indonesia harus lebih hati-hati karena jarak dan karakteristik geografisnya berbeda,” kata Menag Nasaruddin.
5. Evaluasi Menyeluruh Diperlukan Sebelum Dijalankan
Haji jalur laut tidak bisa langsung diterapkan begitu saja. Dibutuhkan kajian lintas sektor — mulai dari Kemenag, Kemenhub, BNPB, hingga BPJS Kesehatan — untuk memastikan seluruh aspek teknis, logistik, dan keselamatan terpenuhi.
Selain itu, penting untuk memastikan bahwa wacana ini bukan sekadar pelarian dari buruknya pengelolaan haji jalur udara.
“Kalau dibuka karena ketidakmampuan kelola jalur udara, itu yang berbahaya. Kita harus evaluasi bareng-bareng,” tutup Luluk.
Menarik, Tapi Jangan Gegabah
Wacana haji melalui jalur laut memang menarik secara budaya dan spiritual. Namun, jika dijadikan sebagai alternatif utama tanpa evaluasi menyeluruh, dikhawatirkan hanya menjadi solusi sementara atas persoalan manajemen yang belum diselesaikan.
Selama belum ada kepastian soal efisiensi, keselamatan, dan kesiapan armada laut, jalur udara tetap menjadi moda transportasi utama paling logis bagi Indonesia sebagai negara dengan jumlah jamaah haji terbesar di dunia. (Antara)