Perempuan Adat di Lombok Utara Bangkit: Menjaga Anak-anak dari Kekerasan dan Perkawinan Anak
- ist
VIVA – Saat mentari pagi menyapu kabut tipis di lereng Desa Beleq, puluhan perempuan adat berjalan menuju sebuah bale terbuka. Mereka tak hanya membawa tubuh dan suara, tapi juga warisan nilai-nilai yang hidup dalam ritual, cerita, dan laku keseharian mereka.
Hari itu, untuk pertama kalinya, mereka duduk dalam satu forum yang memberi ruang bagi sesuatu yang kerap terpinggirkan dalam percakapan publik: suara perempuan adat dalam perlindungan perempuan dan anak.
Dalam balutan kain tradisional dan pandangan mata yang penuh keyakinan, mereka bicara tentang luka yang masih menganga di komunitas mereka yakni kekerasan terhadap anak dan perempuan, perkawinan dini, dan diam yang memekakkan.
Menurut data SIMPONI 2024, ada 603 kasus kekerasan terhadap anak di NTB, dengan Lombok Utara menempati posisi kedua terbanyak setelah Lombok Timur. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.
Sementara Komnas Perempuan mencatat 967 kasus kekerasan seksual di NTB selama dua tahun terakhir, dengan lingkungan pendidikan menjadi lokasi paling dominan.
Dan tak kalah mencemaskan, angka perkawinan anak di NTB tetap menjadi yang tertinggi di Indonesia: 17,39 persen pada 2023, dan meskipun turun menjadi 14,96 persen pada 2024, tetap jauh melampaui angka nasional.
Di tengah data yang membanjirkan rasa ngeri, hadir satu pertanyaan penting: mengapa suara komunitas lokal, khususnya perempuan adat, jarang dilibatkan dalam diskursus perlindungan
Rembuk Perempuan Adat yang digelar oleh Lakpesdam PWNU NTB dan Fatayat NU Lombok Utara, dengan dukungan Program INKLUSI (Australia–Bappenas), menjadi ruang kecil namun penting untuk menjawab pertanyaan itu.
Mengusung tema “Transformasi Gagasan Perempuan Adat untuk Perlindungan Perempuan dan Anak dari Potensi Kekerasan,” kegiatan ini digelar di Dusun Desa Beleq, Kamis, 31 Juli 2025.
Di forum ini, narasi tak hanya datang dari data, tetapi dari pengalaman hidup: bagaimana perempuan adat menjaga anak-anak mereka melalui relasi sosial yang kuat, bagaimana sistem kekerabatan berfungsi sebagai sistem pengasuhan, dan bagaimana nilai saling menghormati menjadi benteng terhadap kekerasan.
“Masyarakat adat memiliki sistem nilai yang selama ini terpinggirkan oleh pendekatan formal negara. Padahal mereka punya cara sendiri dalam melindungi perempuan dan anak,” ujar M. Jayadi, Field Koordinator Lakpesdam PWNU NTB.
Menurut Jayadi, kegiatan ini bukan semata-mata forum diskusi, melainkan bentuk pengakuan, bahwa suara perempuan adat adalah bagian dari pengetahuan kolektif bangsa ini, dan layak menjadi pijakan kebijakan publik.
Salah satu narasumber, Denda Suriasari dari Dewan AMAN Nasional (Damanas) Bali Nusra, menegaskan bahwa perlindungan perempuan tidak bisa dilepaskan dari konteks kultural komunitasnya.
Dalam banyak komunitas adat, meski sistem patriarki masih kental, ada ruang-ruang sakral dan sosial yang secara historis dihuni dan dijaga oleh perempuan.
Ruang-ruang itu kini perlu diaktifkan kembali, bukan dengan mengromantisasi tradisi, tapi dengan mentransformasikannya.
“Ada nilai dan praktik lokal yang bisa menjadi alternatif dari pendekatan negara yang selama ini gagal menyentuh lapisan akar rumput,” imbuhnya.
Dalam forum itu, perempuan adat bukan hanya objek pelindung mereka adalah subjek pengetahuan.
Mereka bicara tentang bagaimana adat bisa mencegah perkawinan anak, bagaimana peran tokoh adat bisa lebih aktif dalam mencegah kekerasan domestik, dan bagaimana budaya bisa menjadi ruang aman, bukan alat pembungkam.
“Kami ingin membawa gagasan ini ke pemerintah. Kami ingin suara perempuan adat masuk dalam kebijakan, bukan hanya menjadi folklor,” tegas Jayadi.
Di tengah hingar-bingar pembangunan dan modernisasi, suara dari lereng Desa Beleq ini adalah pengingat. Bahwa transformasi sosial bukan berarti meninggalkan akar, tapi merawatnya dengan sadar, kritis, dan kolektif.
Perempuan adat Lombok Utara telah menunjukkan itu. Kini, giliran kita untuk mendengar.
Oleh: Nidlomatum MR