9 Siswa SRMA 33 Tangerang Selatan Mengundurkan Diri, Mayoritas karena Tidak Siap Disiplin

Gedung Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 33 Tangerang Selatan
Sumber :
  • ANTARA

VIVA Tangerang – Kementerian Sosial melalui Direktur Rehabilitasi Sosial Lanjut Usia, Suratna, melaporkan bahwa sembilan siswa Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 33 Tangerang Selatan resmi mengundurkan diri. Informasi ini disampaikan saat rapat bersama Komisi VIII DPR RI di Asrama BLKI, Serpong Utara, Tangsel, Rabu lalu.

“Total ada sembilan siswa yang mundur, sebagian tanpa keterangan jelas,” ungkap Suratna.

Dengan adanya pengunduran diri tersebut, jumlah peserta didik aktif di SRMA 33 kini tersisa 141 siswa dari total 150 orang.


Alasan Utama: Belum Siap dengan Kedisiplinan

Suratna menjelaskan, sebagian besar siswa yang mundur merasa kesulitan menyesuaikan diri dengan aturan ketat yang berlaku di sekolah asrama tersebut.

“Banyak yang belum siap disiplin, mulai dari bangun subuh, mandi, mengikuti kegiatan sekolah, hingga aturan makan. Mereka lebih nyaman hidup bebas, seperti bisa jajan di luar,” jelasnya.

Selain faktor kedisiplinan, beberapa siswa juga datang dari latar belakang keluarga yang cukup rumit, sehingga memengaruhi kenyamanan mereka selama menjalani pendidikan.


Faktor Sosial dan Keluarga Jadi Pemicu

Beberapa siswa yang mundur diketahui berasal dari keluarga dengan kondisi sosial dan psikologis yang kompleks. Bahkan ada yang memilih keluar karena ingin kembali tinggal bersama ayahnya setelah perceraian orang tua.

Kepala SRMA 33 Tangsel, Gina Intana Dewi, menuturkan bahwa sebelum resmi mundur, para siswa tersebut sudah menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan tinggal di asrama.

“Sudah ada upaya pendekatan, tapi pada akhirnya mereka tetap memilih keluar. Ada yang dijemput orang tuanya, ada juga yang pergi tanpa izin,” ungkap Gina.


Siswa Mundur dari Berbagai Daerah

Kesembilan siswa yang memutuskan keluar berasal dari sejumlah wilayah di Banten, seperti Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang Selatan, Pandeglang, Cilegon, hingga Serang.

Gina menambahkan, sebagian dari mereka membawa beban psikologis sejak awal masuk sekolah. Hal inilah yang membuat proses adaptasi di lingkungan baru menjadi lebih sulit.

“Dalam sebulan mendidik, kami menemukan bahwa mereka sudah membawa masalah keluarga masing-masing. Itu yang membuat mereka merasa terbebani di asrama,” kata Gina.


Kasus pengunduran diri sembilan siswa di SRMA 33 Tangerang Selatan menjadi gambaran nyata bahwa faktor kedisiplinan, latar belakang keluarga, serta kondisi psikologis sangat berpengaruh terhadap keberhasilan program pendidikan berbasis asrama.

Ke depan, diperlukan strategi pendekatan yang lebih personal, tidak hanya menekankan aturan ketat, tetapi juga memberikan pendampingan psikologis agar siswa bisa beradaptasi dengan lebih baik.