Pola Tidur ‘Polyphasic’ Benarkah Lebih Produktif?
- Freepik
Tangerang – Tidur selama ini dianggap kebutuhan biologis yang tak bisa ditawar. Namun, seiring tren produktivitas ekstrem, muncul pola tidur ‘polyphasic sleep’—atau tidur dengan beberapa siklus singkat yang diklaim membuat seseorang cukup istirahat hanya dalam total 4 jam per hari. Benarkah cara ini membuat hidup lebih efisien?
Istilah polyphasic sleep merujuk pada kebiasaan tidur yang terbagi menjadi beberapa waktu dalam 24 jam. Berbeda dengan monophasic sleep—satu kali tidur panjang di malam hari, atau biphasic—tidur malam ditambah tidur siang, polyphasic memecah total tidur menjadi 4–6 kali dengan durasi singkat.
Salah satu pola paling terkenal adalah Uberman, yang hanya terdiri dari enam kali tidur siang berdurasi 20 menit setiap 4 jam. Dengan demikian, total tidur hanya sekitar 2 jam sehari. Variasi lain, seperti Everyman, menggabungkan tidur utama selama 3 jam dengan beberapa tidur singkat.
Dari Penjelajah Hingga Programmer
Tren tidur polyphasic bukan barang baru. Tokoh-tokoh terkenal seperti Leonardo da Vinci, Nikola Tesla, hingga penjelajah kapal laut tercatat mempraktikkan pola tidur fragmentasi agar tetap waspada di kondisi genting.
Di era modern, sejumlah komunitas biohacker dan pekerja kreatif mencoba pola ini untuk menghemat waktu, berharap bisa memanfaatkan sisa waktu terjaga untuk bekerja, belajar, atau berkarya.
Tak sedikit pula pekerja teknologi, gamer profesional, atau digital nomad yang mengaku berhasil memperpanjang jam produktivitas dengan cara ini. Forum-forum daring seperti Reddit bahkan punya sub-forum khusus untuk berbagi pengalaman polyphasic sleep.
Ilmu Tidur Tak Bisa Ditipu
Sayangnya, tren ini kerap menuai kritik keras dari pakar kesehatan tidur. Menurut banyak penelitian, memecah tidur secara ekstrem bisa mengacaukan ritme sirkadian alami tubuh. Akibatnya, risiko kelelahan kronis, gangguan konsentrasi, bahkan gangguan mental jadi meningkat.
Penelitian dari National Sleep Foundation menyebutkan bahwa rata-rata orang dewasa membutuhkan 7–9 jam tidur berkualitas. Tidur bukan hanya soal ‘jam tidur’, tetapi juga fase tidur dalam, di mana otak dan tubuh melakukan perbaikan sel dan konsolidasi memori.
Beberapa orang memang melaporkan fase adaptasi yang cukup berhasil. Namun, mayoritas menyerah di minggu pertama karena tubuh mengalami gangguan hormonal, sulit tidur tepat waktu, atau justru tertidur lebih lama di jadwal tidur siang.
Polyphasic Sleep Tidak untuk Semua Orang
Pola tidur ini tidak dianjurkan untuk orang dengan jadwal kerja kantoran, anak sekolah, atau orang yang membutuhkan kewaspadaan tinggi seperti pengemudi. Hal ini karena fleksibilitas waktu dan lingkungan sangat mempengaruhi keberhasilan pola polyphasic sleep.
Meski demikian, sebagian orang mengaku pola ini bermanfaat jika dijalankan dengan disiplin tinggi dan tetap mendengar sinyal tubuh. Misalnya, napping terstruktur bisa membantu pekerja shift malam untuk menjaga energi.
Bijak Mengatur Jam Produktif
Pada akhirnya, polyphasic sleep lebih cocok disebut eksperimen gaya hidup ketimbang solusi universal. Tubuh setiap orang punya kebutuhan biologis yang berbeda. Alih-alih ‘memaksa’ tubuh untuk tidur sepotong-potong, kualitas tidur dan manajemen waktu yang baik tetap menjadi kunci produktivitas.
Jika ingin mencoba, pastikan konsultasi ke pakar kesehatan tidur. Dengarkan tubuh Anda dan sadari bahwa tidur bukanlah musuh produktivitas, melainkan penopangnya.
Jadi, benarkah pola tidur polyphasic sleep bikin lebih produktif? Jawabannya, belum tentu. Produktivitas sejati lahir dari tubuh dan pikiran yang bugar—dan tidur berkualitas tetap menjadi pondasi utamanya.