Bidik Zero Emisi 2050, Kapasitas dan Daya Saing Pelaku Pasar Karbon Nasional Kian Diperkuat
- DDC Engineering Solutions
VIVA – Indonesian Business Council (IBC) melalui program strategis Indonesia Carbon Market Academy (ICMA), berupaya memperkuat kapasitas teknis, tata kelola, dan daya saing pelaku pasar karbon nasional agar mampu merespons peluang global serta mendorong tercapainya target pengurangan emisi pemerintah menuju net-zero pada 2050.
Pemerintah Indonesia menargetkan potensi pendapatan hingga US$ 65 miliar (sekitar Rp1.000 triliun) dari ekspor kredit karbon pada 2028. Yuk lanjut scroll artikel selengkapnya berikut ini.
Sebagai salah satu negara dengan hutan tropis terluas di dunia, Indonesia memiliki posisi strategis dalam upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) dan perdagangan karbon.
Sejak diluncurkan pada 26 September 2023 hingga 11 Juli 2025 IDXCarbon, telah mencatat total volume transaksi sebesar 1.599.326 ton CO₂e dengan nilai mencapai Rp77,95 miliar.
Chief Operating Officer IBC, William Sabandar, menegaskan bahwa langkah awal untuk membangun ekosistem pasar karbon yang kokoh adalah edukasi.
Pelaku swasta perlumemahami dan menyelaraskan narasi dekarbonisasi serta pertumbuhan hijau
(green growth) sebagai bagian dari strategi bisnis masa depan.
Dalam konteks inilah, IBC meluncurkan ICMA, sebuah program pengembangan kapasitas untuk mencetak pelaku pasar karbon yang kompeten dan siap bersaing secara global.
“ICMA dibangun di atas tiga pilar utama. Pertama, memperkuat edukasi dan mengubah pola pikir pelaku industri agar berorientasi pada solusi hijau, termasuk mereka yang berasal darisektor berbasis fosil," ungkap William.
"Kedua, memperluas jangkauan narasi keberlanjutan melalui sosialisasidan komunikasi publik yang masif, terutama melalui media. Ketiga, mendorong keterlibatanaktif dalam program-program praktikal yang mendukung transisi energi dan inisiatif green growth,” lanjutnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Center for Renewable Energy Studies (ICRES), Paul Butarbutar menyoroti bahwa tantangan utama dalam pengembangan pasar karbon nasional terletak pada rendahnya kualitas dan integritas sebagian proyek karbon kredit, yang berdampak pada menurunnya kepercayaan pasar global.
Menurut Paul, kolaborasi antara sektor swasta, pemerintah, dan masyarakat sangat penting untuk mengatasi kesenjangan tersebut.
“ICMA memberikan wadah strategis bagi pelaku pasar untuk memperoleh pengetahuan praktis dan teknis, agar lebih siap menghadapi dinamika pasar karbon yang semakin kompleks,” jelas Paul.
Founder & CEO Fairatmos, Natalia Rialucky Marsudi, menambahkan bahwa karbon kredit merupakan instrumen penting untuk menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan pelestarian lingkungan.
Ia menekankan pentingnya pendekatan inklusif dalam pengembangan pasar karbon, di mana seluruh pihak, mulai dari korporasi, komunitas hutan desa, hingga masyarakat umum, perlu dilibatkan secara aktif.
“Cita-cita kami adalah menciptakan inklusivitas. Semua orang harus punya kesempatan yang sama untuk melihat peluang ini, bukan semata karena nilai ekonominya, tetapi karena sebagai negara yang menyumbang kepada emisi global, kita tidak bisa hanya mengandalkan segelintir pemain,” ujar Natalia.
Lebih lanjut, Natalia menyampaikan bahwa saat ini pengembangan proyek karbon di Indonesia masih menghadapi sejumlah tantangan, mulai dari hambatan teknis hingga keterbatasan akses pendanaan iklim.
Hal inilah yang menjadi alasan utama kehadiran Fairatmos, untuk menyediakan solusi berbasis teknologi dan menjembatani kesenjanganantara para penyedia (supplier) dan pembeli (buyer) kredit karbon.
Ia juga meyakini bahwa inisiatif seperti ICMA dapat menjadi katalis penting dalam mempersempit kesenjangan tersebut, dengan memberdayakan pelaku dari berbagai latar belakang agar dapat berpartisipasi secara adil, transparan, dan berkelanjutan dalam ekosistem karbon nasional.
Ia meyakini bahwa kehadiran ICMA dapat menjembatani kesenjangan tersebut, dengan membekali pelaku dari berbagai latar belakang agar dapat berkontribusi secara adil, transparan, dan berkelanjutan dalam ekosistem karbon nasional.
Sebagai penutup, William menegaskan, ICMA bukan sekadar program pelatihan, melainkan langkah strategis untuk memastikan Indonesia tidak hanya menjadi bagian dari pasar karbon global, tetapi juga menjadi pemain utama dengan kapasitas dan integritas yang tinggi.
“Dengan dukungan penuh kepada para pelaku pasar, kami optimistis Indonesia akan mampu bersaing di tingkat global dan menciptakan pasar karbon yang berkelanjutan. Melalui upaya ini, ICMA diharapkan menjadi penggerak utama dalam membangun ekosistem pasar karbon Indonesia yang lebih transparan, kompetitif, dan siap bersaing di pasar global,” pungkas William.