Menolak Budaya Lembur: Gaya Hidup Work-Life Balance Anti-Toksik
- VIVA
Tangerang – Budaya lembur sudah terlalu lama dianggap wajar dalam dunia kerja, terutama di kota-kota besar. Banyak yang percaya bahwa lembur adalah tanda dedikasi, loyalitas, bahkan prestasi. Padahal, kenyataannya, budaya ini sering kali berujung pada kelelahan fisik dan mental, burnout, serta menurunnya produktivitas dalam jangka panjang. Generasi muda, terutama Gen Z, mulai menyadari bahaya di balik budaya kerja yang toksik ini. Mereka kini lebih memilih gaya hidup work-life balance sebagai bentuk perlawanan terhadap normalisasi lembur.
Apa Itu Budaya Lembur dan Mengapa Berbahaya?
Budaya lembur adalah kondisi di mana karyawan diharapkan (atau terpaksa) bekerja melebihi jam kerja normal tanpa kompensasi yang memadai. Meski terlihat produktif, lembur yang berlebihan justru bisa merusak kesehatan mental dan fisik. Tidak sedikit yang merasa kehilangan waktu bersama keluarga, tidak punya waktu untuk diri sendiri, hingga mengalami kecemasan berlebih karena beban kerja yang tidak ada habisnya.
Di sinilah pentingnya gaya hidup work-life balance—konsep yang menekankan pada keseimbangan antara kehidupan profesional dan personal. Tujuannya sederhana: bekerja dengan optimal tanpa mengorbankan kebahagiaan dan kesehatan pribadi.
Kenapa Semakin Banyak Orang Menolak Lembur?
-
Kesadaran akan Kesehatan Mental
Kini, banyak orang sadar bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Mereka tidak ingin hidup untuk kerja, tapi bekerja untuk hidup. Produktivitas Tidak Sama dengan Lembur
Bekerja lebih lama tidak selalu berarti bekerja lebih baik. Faktanya, banyak studi menunjukkan bahwa produktivitas justru menurun ketika seseorang terlalu lama berada di depan layar atau meja kerja.-
Ingin Menikmati Hidup di Luar Pekerjaan
Hidup bukan cuma soal pekerjaan. Traveling, olahraga, hobi, atau sekadar istirahat juga punya nilai penting dalam membentuk kualitas hidup yang sehat.