Kisah Pilu Ibu Muda di Gaza: Kehilangan Bayi Kembar, Bertahan Hidup Demi Putri Kecil yang Sakit Kanker

Nancy Abu Maroud bersama suami di Jalur Gaza tengah.
Sumber :
  • Arab News

VIVA Tangerang – Di tengah reruntuhan perang yang tak kunjung usai, kisah seorang ibu muda bernama Nancy Abu Matroud menjadi potret nyata betapa mahalnya harga yang harus dibayar oleh keluarga sipil Palestina.

Dua Orang Tewas Akibat Keracunan Air Kemasan Iran, Oman Larang Impor

Nancy, 22 tahun, sudah kehilangan tiga anaknya sejak perang di Gaza pecah hampir dua tahun lalu. Kini, ia hanya bisa berjuang untuk mempertahankan hidup putrinya yang tersisa, Etra, balita dua tahun yang menderita kanker. Namun, harapan itu pun kian tipis, karena rumah sakit anak tempat Etra menjalani perawatan telah berhenti beroperasi akibat serangan terbaru di Gaza City.

“Kami hanya meminta tempat berlindung. Saya tidak ingin kehilangan satu-satunya anak yang masih saya miliki,” ucap Nancy lirih, dilansir Arabnews, Kamis 2 Oktober 2025.


Melahirkan di Tengah Pelarian

Ini 20 Poin Rencana Perdamaian Gaza yang diajukan Trump

Ketika serangan udara menggempur Gaza City bulan lalu, Nancy yang sedang hamil enam bulan terpaksa mengungsi bersama suaminya, Faraj al-Ghalayini (53), dan Etra. Tiga hari berjalan kaki tanpa kepastian, mereka tiba di wilayah Al-Nuwairi.

Namun penderitaan belum berhenti. Sesampainya di sana, Nancy merasakan sakit luar biasa hingga air ketubannya pecah. Ia melahirkan bayi kembar secara prematur—Mahmoud dan Farida.

Hamas Pertimbangkan Usulan Gencatan Senjata Trump, Jawaban Segera Diumumkan

Sayangnya, kebahagiaan itu hanya sekejap. Satu bayi meninggal di Rumah Sakit Al-Awda, sementara bayi lainnya menghembuskan napas setelah dua hari perawatan di Rumah Sakit Al-Aqsa Martyrs.


Bayi Prematur yang Tak Tertolong

Kematian Mahmoud dan Farida mencerminkan betapa sulitnya kondisi medis di Gaza. UNICEF melaporkan jumlah bayi prematur meningkat, namun inkubator dan ventilator sangat terbatas.

“Bayi prematur sangat membutuhkan lingkungan terlindungi untuk bertahan hidup. Namun peralatan medis itu tidak tersedia dalam jumlah cukup di Gaza,” ungkap Jonathan Crickx, juru bicara UNICEF State of Palestine.


Bertahan Hidup di Pinggir Jalan

Kini, Nancy dan Faraj hanya bisa bertahan hidup seadanya. Di pinggir jalan yang berdebu, Faraj membuat api dari ranting untuk memanaskan sekaleng buncis demi memberi makan Etra.

“Apa salah kami? Kami tidak punya urusan dengan perang ini. Apa salah anak-anak kami?” keluh Faraj sambil memandangi putrinya yang duduk di atas selimut tipis dengan boneka lusuh di tangan.


Krisis Kemanusiaan yang Kian Memburuk

Situasi Gaza semakin mengerikan. Dari 35 rumah sakit, hanya 14 yang masih berfungsi dan itu pun sebagian besar beroperasi terbatas. Malnutrisi, penyakit, dan kurangnya fasilitas medis membuat perempuan hamil dan anak-anak berada dalam risiko terbesar.

Badan pangan dunia bahkan sudah menetapkan status kelaparan di Gaza City sejak Agustus, sebelum serangan darat terbaru Israel memperparah krisis.

Menurut UNICEF, hanya pada Agustus lalu saja, 13.000 anak balita di Gaza dirawat karena malnutrisi akut.


Luka yang Tak Pernah Sembuh

Nancy masih menyimpan luka lama: seorang anak lelakinya dari pernikahan sebelumnya hilang sejak awal perang. Kini, kehilangan bayi kembarnya membuat hatinya semakin hancur.

“Saya menamai mereka Mahmoud dan Farida,” katanya pelan, seakan ingin memastikan nama itu tetap hidup meski jasad kecil mereka sudah tiada.

Kisah Nancy adalah satu dari ribuan tragedi keluarga Gaza yang kehilangan segalanya akibat perang berkepanjangan. Ia hanya satu wajah dari sekian banyak ibu yang berjuang di tengah kelaparan, pengungsian, dan rasa kehilangan.

Dengan sumber daya medis yang semakin menipis dan blokade yang membatasi bantuan, nasib anak-anak Gaza seperti Etra kian berada di ujung tanduk. Dan di balik angka statistik korban, ada tangisan seorang ibu muda yang masih menggenggam harapan tipis: agar setidaknya satu anaknya bisa tetap hidup.