Nasib Perempuan Gaza Dua Tahun Setelah Konflik Pecah
- VIVA
VIVA Tangerang – Dua tahun setelah konflik di Jalur Gaza pecah, perempuan Palestina menjadi kelompok yang menanggung beban paling berat. Meski menghadapi kesulitan yang nyaris melampaui batas ketahanan manusia, mereka tetap menunjukkan ketangguhan luar biasa dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Kehilangan rumah, gangguan terhadap rutinitas harian, dan kekurangan akses terhadap kebutuhan dasar menjadi kenyataan sehari-hari bagi perempuan di Gaza. Mereka harus berjuang keras untuk memastikan keluarga mereka tetap mendapatkan makanan, air bersih, dan perawatan medis, terutama bagi mereka yang kehilangan suami selama konflik.
Di kamp pengungsi Deir al-Balah, Gaza tengah, seorang ibu berusia 27 tahun, Jenin Mahmoud, duduk di luar tendanya sambil menggendong anaknya dan menyiapkan tungku kecil untuk memasak. Mahmoud menceritakan bagaimana hidupnya berubah drastis sejak konflik pecah. Ia menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk mengantre air bersih atau mencari sisa makanan untuk anaknya. Sebagai seorang ibu yang menikah dan melahirkan di tengah konflik, ia menghadapi tantangan besar dalam memperoleh perawatan medis dan gizi yang cukup bagi anak-anaknya. Kadang ia harus meninggalkan kamp bersama perempuan lain untuk mencari sayuran atau kacang-kacangan, namun tak jarang kembali dengan tangan kosong.
Menurut data otoritas kesehatan Gaza, sejak 7 Oktober 2023, ketika Israel melancarkan serangan berskala besar sebagai balasan atas serangan Hamas di perbatasan selatan Israel, lebih dari 2.500 orang di Gaza tewas akibat kelaparan dan kekurangan gizi. Mahmoud menceritakan mimpi buruknya melihat anak-anak jatuh sakit sementara obat-obatan sangat terbatas. Dokter di rumah sakit terdekat sering hanya bisa menyediakan obat pereda nyeri karena kekurangan obat esensial.
Dua tahun terakhir juga membuat Mahmoud kehilangan kesempatan menyelesaikan pendidikan universitasnya di bidang perdagangan. “Saya bermimpi menjadi guru dan membangun masa depan yang lebih baik, tetapi semua itu hancur akibat konflik,” ujarnya. Ia menegaskan bahwa perempuan kini memainkan peran penting dalam menopang kehidupan sehari-hari, baik di rumah maupun di fasilitas kesehatan, serta memikul tanggung jawab sosial yang jauh lebih besar daripada sebelumnya.
Di kota yang sama, Areej, 35 tahun, tinggal di kamp pengungsian setelah kehilangan rumahnya. Hidupnya kini diwarnai oleh hari-hari mengantre air, roti, dan bantuan makanan. Ia menceritakan bahwa kadang ia berdiri dari subuh hingga siang hanya untuk mendapatkan beberapa potong roti, dan jika terlambat, pulang dengan tangan kosong. Dalam kondisi cemas dan menderita insomnia, Areej tetap berusaha tegar agar anak-anaknya tidak putus asa.
Selain itu, sekitar 335.000 penduduk Gaza terpaksa meninggalkan rumah akibat tekanan serangan, sementara sekitar setengah juta warga terjebak di area seluas tidak lebih dari delapan kilometer persegi di Gaza City. Kehidupan para janda juga sangat berat; Umm Samer al-Amasai, 42 tahun, kehilangan suaminya setahun lalu dan kini membesarkan empat anak sendirian. Ia harus berperan ganda sebagai ayah sekaligus ibu, mencari pekerjaan atau bantuan untuk kelangsungan hidup keluarga.