Viral Sengketa dan Eksekusi Lahan di Bekasi, Ini Kata Menteri ATR/BPN Nusron Wahid

Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid.
Sumber :
  • Antara

VIVA Tangerang – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menyoroti adanya cacat prosedur dalam proses eksekusi lahan yang dilakukan oleh pengadilan di Desa Setia Mekar, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi. Eksekusi lahan ini melibatkan lima rumah warga yang terdampak penggusuran meskipun berada di luar objek sengketa, serta memiliki dokumen kepemilikan yang sah.

Kemenag Gelar Kursus Ramadan: Pelatihan Baca Al-Qur'an dan Kitab Kuning

Menurut Nusron Wahid, proses eksekusi ini tidak sesuai dengan prosedur yang seharusnya dilakukan. "Proses eksekusi ini kurang tepat prosedurnya. Saya menganggap penghuni yang terdampak ini masih memiliki hak atas tanah tersebut," ujar Nusron seperti dilansir Antara, Jumat 8 Februari 2025.

Eksekusi ini diketahui melibatkan lima rumah milik warga, yaitu Asmawati, Mursiti, Siti Muhijah, Yeldi, dan Bank Perumahan Rakyat (BPR). Masing-masing rumah ini memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) yang sah atas tanah tempat mereka mendirikan bangunan.

Prosedur yang Dilanggar oleh Pengadilan

Kemenag Buka Pelatihan Ilmu Hisab Rukyat untuk Remaja Masjid dan Mahasiswa

Nusron menjelaskan bahwa terdapat beberapa tahapan yang seharusnya dijalankan oleh pengadilan sebelum melakukan eksekusi. Salah satunya adalah pengadilan harus mengajukan permohonan pembatalan sertifikat warga yang terdampak kepada Kantor BPN Kabupaten Bekasi.

Hal ini tidak dilakukan dalam kasus eksekusi di wilayah Tambun Selatan. Selain itu, dalam amar putusan yang dikeluarkan, tidak terdapat perintah dari pengadilan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat tanah milik warga yang terdampak.

Publik Khawatir Efek Buruk Efisiensi Anggaran, Ini Kata Luhut Binsar Pandjaitan

“Di dalam amar putusan itu, tidak ada perintah pengadilan kepada BPN untuk membatalkan sertifikat. Harusnya ada perintah lebih dahulu sebelum eksekusi dilakukan,” jelas Nusron.

Pengadilan juga seharusnya mengirimkan surat permohonan kepada BPN setempat untuk membantu melakukan pengukuran lahan yang akan disita. Ini penting untuk mengetahui batas tanah yang akan dieksekusi.

Selain itu, pengadilan wajib mengirimkan surat pemberitahuan kepada BPN terkait rencana pelaksanaan eksekusi. Nusron mengungkapkan bahwa seluruh tahapan ini tidak dilalui dengan baik oleh pengadilan saat proses eksekusi dilakukan.

“Ini adalah tiga tahapan yang tidak dilakukan dengan baik oleh pengadilan,” tegas Nusron Wahid.

Proses Eksekusi yang Terjadi

Eksekusi terhadap lima rumah warga ini dilakukan pada 30 Januari 2025, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Bekasi dengan nomor perkara 128/PDT.G/1996/PN.BKS yang dikeluarkan pada 25 Maret 1997.

Putusan tersebut merupakan hasil gugatan yang diajukan oleh Mimi Jamilah, ahli waris Abdul Hamid, sebagai pemilik tanah induk yang bersertifikat nomor 335. Tanah ini dibeli dari Djuju Saribanon Dolly pada tahun 1976.

Permasalahan tanah ini semakin rumit karena sertifikat hak milik tanah seluas 3,6 hektare tersebut telah berganti-ganti kepemilikan. Awalnya dimiliki oleh Djuju, lalu dijual kepada Abdul Hamid, yang kemudian menjual kembali lahan tersebut kepada Kayat. Kayat memecah sertifikat tersebut menjadi empat bidang, dengan nomor SHM 704, 705, 706, dan 707.

Kayat kemudian menjual SHM nomor 704 dan 705 kepada Toenggoel Paraon Siagian, sementara SHM nomor 706 dan 707 dijual secara acak. Tanah ini terus berpindah tangan beberapa kali, dan akhirnya Mimi menggugat semua pemilik yang terlibat.

Dalam gugatan ini, diketahui bahwa transaksi jual beli antara Djuju dan Abdul Hamid bermasalah, karena Djuju membatalkan jual beli sepihak setelah Abdul Hamid gagal membayar penuh harga tanah tersebut.

Kasus yang Berlarut dan Pengalihan Kepemilikan

Pada tahun 2019, Toenggoel menjual lahan dengan SHM nomor 705 kepada Bari, setelah mengetahui bahwa pihak Mimi mengajukan permohonan eksekusi pengosongan lahan pada 2018. Setelah transaksi ini, nama pemilik SHM 705 tercatat berubah menjadi Bari, dan lahan tersebut kemudian dikembangkan menjadi perumahan Cluster Setia Mekar Residence 2.

Selain lahan yang kini menjadi perumahan cluster, terdapat pula tiga bidang tanah lain yang ikut dieksekusi oleh pengadilan, yaitu tanah dengan SHM nomor 704, 706, dan 707. Proses hukum ini telah memicu banyak permasalahan terkait status kepemilikan lahan yang terus berganti, serta prosedur eksekusi yang tidak sesuai aturan.

Kasus eksekusi lahan di Desa Setia Mekar, Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi ini menyoroti pentingnya prosedur yang tepat dalam setiap langkah eksekusi. Nusron Wahid, Menteri ATR/BPN, menegaskan bahwa pengadilan tidak mengikuti prosedur yang semestinya, seperti tidak mengajukan pembatalan sertifikat kepada BPN, serta tidak melakukan pengukuran lahan yang akan dieksekusi. Hal ini tentu menambah kompleksitas kasus yang telah berganti-ganti pemilik tanah dan melibatkan banyak pihak.

Dengan adanya ketidaksesuaian prosedur ini, Menteri ATR/BPN menuntut agar pengadilan memperbaiki langkah-langkah yang diambil dalam proses eksekusi lahan, agar hak-hak warga yang sah atas tanah mereka dapat dihormati dan dilindungi sesuai dengan aturan yang berlaku.