Pengangguran di Inggris Tembus Rekor Tertinggi dalam 4 Tahun, Apa Penyebabnya?
- Freepik
Tangerang – Pasar kerja Inggris kembali menunjukkan tanda-tanda pelemahan pada kuartal kedua 2025. Data terbaru Kantor Statistik Nasional (Office for National Statistics/ONS) pada Selasa (12/8) mencatat tingkat pengangguran naik menjadi 4,7 persen, level tertinggi sejak empat tahun terakhir. Penurunan jumlah lowongan kerja dan pekerja bergaji mempertegas tren melemahnya ekonomi Inggris.
Lowongan Kerja Turun Drastis di Berbagai Sektor
Dalam periode Mei–Juli 2025, jumlah lowongan kerja merosot 5,8 persen menjadi 718.000. Penurunan terjadi di 16 dari 18 sektor industri yang dipantau ONS, dengan sektor seni, hiburan, dan rekreasi mengalami kontraksi terbesar, yakni 17,6 persen dari kuartal sebelumnya.
Jumlah pekerja bergaji pada Juni 2025 turun 149.000 orang dibandingkan tahun sebelumnya, dan menyusut 26.000 dibandingkan bulan sebelumnya. Estimasi awal untuk Juli 2025 memperkirakan total pekerja bergaji mencapai 30,3 juta orang.
Analisis Ekonomi: Masa Keemasan Pascapandemi Sudah Berakhir
Ekonom senior Resolution Foundation, Hannah Slaughter, menilai periode kebangkitan pasar kerja pascapandemi resmi berakhir. Dalam delapan bulan terakhir, Inggris kehilangan sekitar 165.000 pekerjaan bergaji.
Direktur Statistik Ekonomi ONS, Liz McKeown, menegaskan tren pelemahan ini masih berlanjut.
Sementara itu, Stephen Evans dari Learning and Work Institute menyebut sektor retail dan perhotelan menjadi yang paling terdampak. Ironisnya, kedua sektor ini justru mencatat pertumbuhan upah tertinggi, yang kemungkinan dipengaruhi oleh kenaikan upah minimum dan meningkatnya biaya operasional perusahaan.
Pertumbuhan Upah Stabil, Tekanan Biaya Tinggi
Survei terpisah menunjukkan pertumbuhan upah tanpa bonus tetap bertahan di level 5 persen dalam tiga bulan hingga Juni 2025, menandakan tekanan inflasi yang terus berlangsung. Jane Gratton dari Kamar Dagang Inggris menyebut tekanan biaya, tarif, dan ketidakpastian global membuat banyak perusahaan menunda perekrutan atau melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Kondisi ini juga memengaruhi pertimbangan Bank of England dalam menentukan suku bunga, mengingat pertumbuhan upah yang berkelanjutan bisa memicu tantangan baru bagi dunia usaha.
Dampak Tarif AS terhadap Industri dan Ekspor Inggris
Selain faktor internal, kebijakan tarif Amerika Serikat turut memperburuk situasi. Matthew Percival dari Konfederasi Industri Inggris menilai ketidakpastian global membuat perusahaan lebih hati-hati membuka lowongan baru.
Profesor David Bailey dari University of Birmingham menyoroti kenaikan tarif otomotif AS dari 2,5 persen menjadi 10 persen, yang memukul produsen seperti Jaguar Land Rover hingga melakukan PHK terhadap 500 karyawan.
David Spencer dari University of Leeds memperingatkan bahwa kombinasi pajak tenaga kerja tinggi, kebijakan yang tidak pasti, dan tekanan tarif berpotensi menghambat penciptaan lapangan kerja sekaligus meningkatkan risiko stagnasi ekonomi Inggris.