Kritik Pedas: Donald Trump dan Tony Blair Tak Layak Tentukan Nasib Gaza

Ilustrasi pemboman Israel terhadap Menara Mushtaha di Jalur Gaza.
Sumber :
  • ANTARA

VIVA Tangerang – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dianggap sebagai lembaga dengan legitimasi internasional yang sah untuk mengawasi masa depan Jalur Gaza, wilayah Palestina yang masih terkepung. Pernyataan ini disampaikan Profesor Ben Saul, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) dan kontra-terorisme, saat menjawab pertanyaan di National Press Club of Australia terkait pengakuan kenegaraan Palestina dan rencana gencatan senjata yang diusulkan Presiden AS Donald Trump.

Dua Orang Tewas Akibat Keracunan Air Kemasan Iran, Oman Larang Impor

Dalam rencana perdamaian Trump, mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair akan memegang peran penting. Namun, Saul menyoroti rekam jejak Blair yang sebelumnya terlibat dalam proses Quartet—forum yang dibentuk tahun 2002 oleh Uni Eropa, Rusia, PBB, dan Amerika Serikat untuk memfasilitasi perdamaian Timur Tengah—yang dinilai gagal mencapai hasil signifikan.

“Jika ingin pengawasan internasional yang sah untuk masa depan Gaza, gunakan PBB. Fungsi ini seharusnya dijalankan sejak awal,” tegas Saul. Ia juga menyatakan kekecewaannya terhadap sikap Australia atas konflik Israel di Gaza, meski akhirnya Australia mengakui Palestina sebagai negara merdeka pada Sidang Umum PBB ke-80 setelah tekanan publik melalui unjuk rasa di Sydney.

Ini 20 Poin Rencana Perdamaian Gaza yang diajukan Trump

Menurut Saul, PBB memiliki legitimasi karena melibatkan semua pihak dan tidak bergantung pada kehendak satu individu, berbeda dengan rencana Trump yang dianggap bersifat personal. Rencana Trump berisi 20 poin, termasuk penghentian permusuhan, pembebasan sandera, dan pembentukan otoritas transisi untuk mengelola Gaza. Salah satu fokusnya adalah pembentukan “komite teknokrat Palestina non-politis” yang diawasi Board of Peace, dipimpin langsung Trump dengan melibatkan tokoh internasional, termasuk Blair.

Sementara itu, pakar hukum HAM internasional asal Australia, Chris Sidoti, menyoroti perbedaan perang Israel di Gaza dengan konflik lain, seperti di Ukraina atau Sudan. Ia menekankan bahwa dua juta warga Palestina terperangkap di wilayah sempit setengah luas Canberra tanpa jalur evakuasi. Sejak 7 Oktober 2023, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 66 ribu warga Gaza, mayoritas perempuan dan anak-anak. Kondisi ini menimbulkan kelaparan, kekurangan obat-obatan, serta hambatan akses rumah sakit dan pendidikan. Sidoti menyebut bahwa sejak hari pertama, operasi Israel di Gaza bersifat “penghancuran total,” membuat jutaan warga sipil terjebak tanpa jalan keluar.

Hamas Pertimbangkan Usulan Gencatan Senjata Trump, Jawaban Segera Diumumkan