Membedah 17+8 Tuntutan Rakyat, Suara Aspirasi yang Wajib Didengar Pemerintah
- instagram.com/andovidalopez
VIVA Tangerang – Tewasnya Affan Kurniawan memicu gelombang besar tuntutan dari kelompok sipil terhadap pemerintah, yang kemudian dikenal dengan istilah 17+8 Tuntutan Rakyat. Desakan ini sebelumnya telah digaungkan melalui berbagai aksi unjuk rasa. Namun, momentum tersebut sempat dimanfaatkan oleh sejumlah massa tak dikenal untuk melakukan aksi anarkis, termasuk kerusuhan serta perusakan fasilitas publik di beberapa kota.
Presiden Prabowo Subianto pada 29 Agustus 2025 menegaskan beberapa poin penting terkait situasi tersebut. Ia mengajak masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dengan damai, menegaskan aparat berhak menindak tegas pelaku penjarahan dan kekerasan, serta meminta TNI-Polri melindungi masyarakat. Presiden juga menyoroti pentingnya transparansi jika terjadi pelanggaran oleh aparat kepolisian.
Selain itu, muncul langkah tegas dari DPR yang menonaktifkan sejumlah anggota dewan setelah pernyataan mereka dinilai menimbulkan keresahan. Beberapa di antaranya adalah Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Partai NasDem, Uya Kuya dan Eko Patrio dari PAN, serta Adies Kadir dari Golkar. Pimpinan DPR juga mencabut tunjangan anggota, melakukan moratorium kunjungan kerja ke luar negeri, serta membuka ruang dialog dengan mahasiswa dan tokoh masyarakat.
Apa Itu 17+8 Tuntutan Rakyat?
Istilah 17+8 Tuntutan Rakyat muncul sebagai rangkuman dari berbagai desakan masyarakat yang ramai disuarakan di media sosial dalam beberapa hari terakhir.
Sejumlah 17 tuntutan ditargetkan untuk segera dituntaskan dalam waktu satu minggu, atau hingga 5 September 2025. Tuntutan ini ditujukan kepada Presiden Prabowo, DPR, partai politik, kepolisian, TNI, serta kementerian di bidang ekonomi.
Selain itu, terdapat 8 tuntutan tambahan yang harus diselesaikan dalam jangka waktu satu tahun, yakni hingga 31 Agustus 2026. Tuntutan ini berlaku bagi seluruh jajaran pemerintahan Republik Indonesia dan bersifat lebih strategis.