Pakar UGM: MK Perlu Perjelas Tafsir Pasal 2 dan 3 UU Tipikor agar Tidak Timbulkan Kriminalisasi
- ANTARA
VIVA Tangerang – Ahli hukum pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar, menilai Mahkamah Konstitusi (MK) perlu memberikan tafsir yang lebih tegas terkait Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Langkah ini penting agar tidak terjadi kriminalisasi akibat tafsir yang terlalu luas.
“Jika pasal ini tetap ditafsirkan secara umum, risikonya adalah terjadinya kriminalisasi. Karena itu hakim MK sebaiknya mempersempit tafsir, bahkan lebih baik jika substansinya direvisi agar tidak multitafsir,” kata Akbar dalam keterangannya di Yogyakarta, Minggu (8/9).
Akbar menegaskan, pasal tersebut tetap harus dipertahankan agar pemberantasan korupsi tidak melemah. Namun, penerapannya harus dibatasi secara jelas agar tidak merugikan pihak-pihak yang beritikad baik.
Sebagai contoh, unsur “melawan hukum” dalam Pasal 2 dan 3 sebaiknya dipahami dengan merujuk pada tindak pidana yang sudah tercantum dalam Pasal 5 hingga 13 UU Tipikor, seperti kasus suap maupun penggelapan jabatan. Dengan begitu, Pasal 2 dan 3 berfungsi sebagai pasal pemberat hukuman, bukan sebagai pasal yang multitafsir.
“Pasal ini sangat penting untuk menjerat bentuk korupsi yang serius. Tetapi harus ada batasan penerapan yang jelas demi kepastian hukum sekaligus memperkuat upaya pemberantasan korupsi,” tambahnya.
Sebelumnya, 24 tokoh antikorupsi yang tergabung dalam Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan telah mengajukan amicus curiae kepada MK. Mereka menilai Pasal 2 dan 3 UU Tipikor justru membuka ruang kriminalisasi, politisasi, serta menimbulkan ketidakpastian hukum.
Akbar menjelaskan, amicus curiae adalah pandangan hukum yang bisa menjadi bahan pertimbangan hakim dalam mengambil putusan. “Hakim dapat menjadikannya pencerahan, tetapi keputusan tetap berada di tangan majelis hakim MK,” ujarnya.