Korea Selatan Tegas Tolak Tekanan AS Terkait Impor Daging Sapi dan Beras Demi Petani Lokal
- Freepik
Tangerang – Pemerintah Korea Selatan secara tegas menolak permintaan Amerika Serikat untuk membuka akses pasar yang lebih luas terhadap komoditas daging sapi dan beras. Dalam pertemuan tingkat tinggi para menteri ekonomi awal pekan ini, pemerintah menyatakan bahwa kedua produk tersebut merupakan “garis merah” dalam negosiasi tarif dengan Washington.
Langkah ini diambil sebagai bentuk perlindungan terhadap sektor pertanian dan peternakan dalam negeri yang selama ini menjadi tulang punggung ketahanan pangan nasional. Menurut sumber yang memahami isi pertemuan tersebut, Korea Selatan enggan menjadikan daging sapi dan beras sebagai alat tukar dalam kesepakatan dagang strategis dengan AS, yang juga mencakup pembebasan atau pengurangan tarif produk baja dan otomotif.
Dalam perundingan terakhir, AS disebut meminta Korea mencabut pembatasan impor daging sapi dari ternak berusia lebih dari 30 bulan serta memperluas kuota impor beras dari Amerika. Namun, dengan alasan keamanan pangan dan kesehatan masyarakat, Seoul mempertimbangkan alternatif lain, seperti membuka akses terhadap tanaman energi termasuk jagung dan bioetanol.
Pembatasan impor daging sapi dari AS sudah diberlakukan sejak perjanjian perdagangan bebas Korea-AS tahun 2008. Kebijakan ini diambil setelah kekhawatiran besar terhadap penyebaran penyakit sapi gila (BSE) yang sempat melanda. Meskipun demikian, Korea Selatan tetap menjadi salah satu pasar terbesar daging sapi AS, dengan nilai impor mencapai 2,22 miliar dolar AS atau sekitar Rp358,6 triliun pada 2024.
Sementara itu, untuk komoditas beras, Korea Selatan menerapkan sistem kuota tarif impor dari lima negara: Amerika Serikat, China, Australia, Thailand, dan Vietnam. Dari total kuota, AS mendapat jatah hingga 32 persen atau sekitar 132.304 ton beras per tahun, dengan tarif hanya 5 persen—jauh lebih rendah dibandingkan tarif 513 persen yang dikenakan pada impor di luar kuota.
Jika pemerintah ingin menambah volume impor beras dari AS, maka harus melalui proses administratif yang cukup kompleks, termasuk persetujuan dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan ratifikasi oleh parlemen Korea Selatan.
Penolakan pemerintah terhadap tekanan AS disambut positif oleh petani dan pelaku industri pangan domestik. Banyak dari mereka mengkhawatirkan dampak jangka panjang apabila Korea membuka keran impor berlebihan terhadap dua komoditas sensitif ini. Bahkan, kelompok petani mengancam akan melakukan aksi protes besar jika pemerintah memasukkan isu daging sapi dan beras ke dalam meja negosiasi dengan Washington.