Konflik Bersenjata di Perbatasan Thailand-Kamboja Tewaskan 13 Orang dan Lukai 71 Warga
- ANTARA
Tangerang – Ketegangan antara Thailand dan Kamboja kembali mencuat, menyusul insiden berdarah yang terjadi pada Sabtu lalu (24 Juli) di wilayah perbatasan Kamboja, tepatnya di Provinsi Pursat. Berdasarkan pernyataan resmi dari juru bicara Kementerian Pertahanan Kamboja, Maly Socheata, sebanyak 13 orang dilaporkan tewas, sementara 71 lainnya mengalami luka-luka akibat serangan artileri yang diluncurkan oleh militer Thailand. Sebagian besar korban merupakan warga sipil.
Dari total korban jiwa, lima di antaranya adalah personel militer Kamboja dan delapan lainnya merupakan warga sipil. Sedangkan jumlah korban luka mencakup 21 tentara dan 50 warga sipil. Situasi ini memaksa otoritas Kamboja untuk mengevakuasi sekitar 35.800 penduduk dari provinsi yang terdampak, yakni Oddar Meanchey, Preah Vihear, Pursat, dan Banteay Meanchey.
Konflik ini bermula dari ketegangan berkepanjangan antara kedua negara atas wilayah sengketa di zona netral. Bentrokan pertama tercatat pada 28 Mei, saat terjadi insiden mematikan antara pasukan Thailand dan Kamboja yang menyebabkan tewasnya satu prajurit Kamboja. Ketegangan tersebut kemudian meningkat menjadi konflik bersenjata terbuka yang memakan korban lebih besar.
Sengketa perbatasan antara Thailand dan Kamboja memiliki akar sejarah panjang yang berasal dari masa kolonial. Pada tahun 1907, saat peta perbatasan antara kedua negara ditetapkan oleh komisi demarkasi Prancis, beberapa bagian wilayah sulit dijangkau sehingga tidak dicantumkan dengan jelas. Setelah Kamboja meraih kemerdekaan dari Prancis pada tahun 1953, wilayah-wilayah yang tidak didefinisikan tersebut menjadi sumber konflik hingga saat ini.
Dalam upaya penyelesaian konflik, masing-masing negara memiliki pendekatan berbeda. Thailand cenderung mendorong penyelesaian melalui jalur diplomatik bilateral dengan negara-negara tetangganya. Sebaliknya, Kamboja memilih jalur hukum internasional dan membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional (ICJ). Namun, Thailand sendiri tidak mengakui yurisdiksi ICJ, yang membuat penyelesaian konflik menjadi semakin rumit.
Meningkatnya jumlah pekerja dan wisatawan asing di kedua negara dalam beberapa tahun terakhir turut menambah tekanan di wilayah perbatasan. Isu keamanan perbatasan juga mencuat dalam kampanye pemilu anggota parlemen di Jepang baru-baru ini, menunjukkan bahwa ketegangan lintas negara di kawasan Asia Tenggara kini menjadi perhatian global.
Dengan semakin banyaknya korban jiwa dan pengungsi, masyarakat internasional mulai mendesak kedua negara untuk segera menempuh jalan damai. Organisasi regional seperti ASEAN diharapkan dapat mengambil peran aktif dalam memediasi konflik dan mencegah eskalasi yang lebih besar.