Air Mata Erdogan dan Diamnya Dunia Islam atas Luka Gaza

Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menangis.
Sumber :
  • euromoney

VIVA Tangerang – Air mata Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, yang jatuh saat menyampaikan keprihatinan atas tragedi kemanusiaan di Jalur Gaza, bukan sekadar ekspresi pribadi seorang kepala negara. Itu adalah jeritan nurani yang mewakili jutaan umat manusia yang menyaksikan penderitaan rakyat Palestina—dan merasa gagal mencegahnya.

Gaza Kian Terkepung: PBB Sebut Krisis Kemanusiaan Terburuk Akibat Serangan Israel

Pernyataan Erdogan dalam pertemuan parlemen di Istanbul, Jumat 18 April 2025, adalah kritik tajam terhadap kebungkaman dunia Islam. “Dengan air mata di mata saya, saya nyatakan bahwa dunia Islam telah gagal melakukan apa yang diharapkan darinya,” kata Erdogan dilansir Antara.

Pernyataan ini tidak datang dari ruang kosong. Jalur Gaza telah berubah menjadi puing-puing dan kuburan massal, dengan hampir 60.000 warga Palestina tewas, sebagian besar dari mereka adalah anak-anak, perempuan, dan orang tua. Ini bukan hanya soal konflik bersenjata, ini soal penghancuran sistematis terhadap kehidupan sipil.

Ratusan Mantan Pejabat Badan Intelijen Israel Desak Penghentian Perang di Gaza

Warga Palestina di Gaza.

Photo :
  • VIVA

Segala jalur diplomasi telah ditempuh. Delegasi dikirim, nota protes dilayangkan, dan seruan damai menggema. Namun semua itu tak sanggup membendung laju kehancuran. Dunia Islam—yang secara moral, spiritual, dan historis memiliki tanggung jawab terhadap Palestina—justru terlihat pasif, terpecah, dan lebih sibuk menjaga kepentingan politik masing-masing.

Qari Cilik Indonesia Juara MTQ Internasional di Qatar, Kemenag Beri Penghargaan Spesial

Sementara itu, Israel terus melancarkan serangan, memutus pasokan listrik ke pabrik desalinasi, dan menutup pintu masuk bantuan kemanusiaan. Anak-anak meninggal karena kelaparan dan dehidrasi, bukan hanya karena bom. Di tengah tragedi ini, Erdogan bertanya dengan getir: "Di mana negara-negara Barat yang biasanya begitu cepat menjatuhkan embargo senjata ketika konflik kecil muncul di belahan dunia lain?"

 

Gaza Palestina.

Photo :
  • VIVA

 

Pernyataan tersebut bukan hanya menyindir Barat, tapi juga menelanjangi standar ganda dunia dalam menyikapi hak asasi manusia. Ketika jurnalis terbunuh, media internasional diam. Ketika anak-anak Palestina menjadi korban, organisasi-organisasi besar tutup suara. Dunia telah terbiasa melihat penderitaan Gaza sebagai statistik, bukan sebagai tragedi nyata.

Kini, saat dunia Islam gagal bertindak, penderitaan Palestina menjadi semakin sepi dari pembelaan nyata. Maka, pertanyaannya: Masihkah kita pantas menyebut diri sebagai bagian dari umat, jika kita tak mampu menolong mereka yang ditindas?

Editorial ini bukan sekadar refleksi, tapi juga seruan. Jika air mata Erdogan tak menggerakkan kita, lalu apa lagi yang bisa?

Penduduk Gaza Palestina antre makanan.

Photo :
  • VIVA