Toxic Positivity dalam Parenting: Ketika Terlalu Optimis Justru Merusak Emosi Anak
- VIVA
Tangerang – Dalam dunia parenting modern, banyak orang tua berlomba-lomba menjadi pribadi yang positif dan suportif. Sikap ini tentu baik. Namun, ada kalanya optimisme yang berlebihan justru berubah menjadi toxic positivity—sikap yang memaksa anak untuk selalu “bahagia” dan menolak emosi negatif yang sebenarnya alami. Dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak kesehatan mental dan perkembangan emosional anak.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah kecenderungan untuk hanya mengakui emosi positif dan menolak, mengecilkan, atau mengabaikan perasaan negatif. Dalam konteks pengasuhan, ini bisa muncul dalam bentuk kalimat seperti, “Udah, jangan sedih terus,” atau “Kamu harus tetap senyum walaupun kalah.” Meski maksudnya untuk menghibur, kalimat semacam ini bisa membuat anak merasa bahwa emosi negatif tidak boleh dirasakan atau diungkapkan.
Dampak Buruk bagi Anak
Anak yang terus-menerus dibanjiri dengan pesan untuk “selalu positif” bisa tumbuh dengan persepsi bahwa menangis, marah, kecewa, atau sedih adalah tanda kelemahan. Mereka mungkin mulai menyembunyikan emosi sebenarnya dari orang tua dan orang lain, karena takut dianggap lemah atau tidak cukup “baik”.
Hal ini bisa menyebabkan:
Kesulitan mengenali dan mengelola emosi sendiri
-
Stres terpendam yang tak tersalurkan
Rasa terasing karena merasa emosi negatifnya tidak valid
Kurangnya empati terhadap orang lain yang sedang kesulitan