Ahli: Penanganan Kanker Payudara Perlu Sistem Kesehatan yang Inklusif dan Adaptif

Ilustrasi kanker
Sumber :
  • Freepik

VIVA Tangerang – Dokter spesialis penyakit dalam konsultan hematologi-onkologi medik, dr. Agus Jati Sunggoro, Sp.PD-KHOM, FINASIM, menekankan perlunya dukungan sistem kesehatan nasional yang adaptif dan inklusif dalam menghadapi tantangan penanganan kanker payudara di Indonesia.

Mengenali Gejala Burnout pada Anak Sekolah dan Cara Mengatasinya

Menurutnya, Kementerian Kesehatan telah menyediakan program skrining gratis untuk empat jenis kanker, termasuk kanker payudara, denga n seluruh biaya ditanggung BPJS Kesehatan. Namun, ketersediaan program tersebut saja belum cukup.

“Diperlukan penguatan layanan primer, koordinasi multidisiplin, pembiayaan yang lebih inklusif, serta reformasi pendidikan kedokteran agar penanganan kanker bisa lebih efektif,” ujar Agus dalam keterangan persnya, Senin (8/9/2025).

Edukasi dan Deteksi Dini Jadi Kunci

Apa yang Harus Dilakukan Saat Terkena Heat Stroke? Simak Panduan Lengkapnya

Agus menegaskan bahwa kebijakan pemerintah perlu dibarengi dengan langkah nyata untuk memperkuat kapasitas tenaga medis di fasilitas layanan primer. Selain itu, edukasi masyarakat mengenai pentingnya deteksi dini kanker payudara harus lebih digencarkan agar angka kematian dapat ditekan.

Ia juga menyoroti perlunya reformasi pendidikan kedokteran, khususnya untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan pendidikan kedokteran yang lebih berkualitas dan terjangkau.

Akses Pengobatan Inovatif Perlu Diperluas

Mengelola Emosi Anak di Tengah Tekanan Akademik dan Les yang Padat

Selain edukasi dan layanan primer, Agus menekankan pentingnya keberlanjutan pendanaan serta akses masyarakat terhadap obat-obatan inovatif. Salah satunya adalah Trastuzumab, terapi yang sudah masuk dalam Formularium Nasional (FORNAS).

“Trastuzumab sebenarnya direkomendasikan untuk pasien kanker payudara stadium awal sebagai terapi pencegahan kekambuhan. Sayangnya, BPJS baru menanggung obat ini untuk pasien stadium lanjut,” jelasnya.

Berdasarkan uji klinis fase III DESTINY-Breast04, obat tersebut terbukti mampu memperpanjang median ketahanan hidup pasien HER2-low tanpa progresi penyakit menjadi 9,9 bulan, hampir dua kali lipat dibandingkan kemoterapi standar. Bahkan, angka harapan hidup pasien dapat meningkat hingga 23,4 bulan.

Harapan untuk Masa Depan

Dengan adanya kombinasi antara skrining dini, layanan primer yang kuat, akses obat inovatif, serta dukungan pembiayaan inklusif, Agus berharap penanganan kanker payudara di Indonesia bisa semakin efektif dan memberikan harapan hidup lebih baik bagi pasien.

Sumber: ANTARA