Peran Musik dalam Tumbuh Kembang Anak, Ini Kata Psikolog UI

Ilustrasi Keluarga
Sumber :
  • VIVA

Tangerang – Musik bukan sekadar hiburan. Bagi anak-anak, musik bisa menjadi media penting dalam proses belajar dan tumbuh kembang. Psikolog Anak dan Remaja lulusan Universitas Indonesia, Ika Putri, menyarankan agar orang tua mendampingi anak saat menikmati musik, terutama ketika anak mulai menunjukkan ketertarikan terhadap lagu-lagu tertentu.

Remaja Rentan Alami Saraf Terjepit Akibat Kebiasaan Duduk Lama, Ini Kata Dokte

Menurut Ika, momen mendengarkan musik bisa dimanfaatkan sebagai waktu berkualitas antara anak dan orang tua. Lewat diskusi ringan seputar lirik atau pesan dalam lagu, orang tua dapat membantu anak menyerap nilai-nilai positif yang terkandung di dalamnya.

“Penting bagi orang tua untuk memahami bagaimana anak menghayati musik atau film yang ia tonton. Dari situ, orang tua bisa mengarahkan dan mengajak anak berdiskusi tentang makna atau pesan moral di baliknya,” ujar Ika, dikutip dari ANTARA.

Fenomena Kidulting: Tren Orang Dewasa Koleksi Mainan dan Nostalgia Masa Kecil

Ia juga mengingatkan bahwa anak sangat mudah terpengaruh dengan lagu-lagu yang viral di lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, pendampingan orang tua sangat penting agar referensi musik anak tetap sesuai usia dan mendidik. Menikmati musik bersama juga bisa mempererat hubungan emosional anak dan orang tua.

Secara ilmiah, musik memiliki banyak manfaat bagi perkembangan otak anak. Bermain alat musik, bernyanyi, atau sekadar mendengarkan lagu dapat membantu mengasah kemampuan kognitif seperti daya ingat, kemampuan bahasa, dan pengenalan angka dari notasi nada. Selain itu, musik juga berperan besar dalam mengembangkan kepekaan emosional anak serta membantu mereka mengelola perasaan.

Tekanan Darah Tetap Normal dengan 5 Langkah Sederhana Sebelum Tidur

Namun, Ika menegaskan pentingnya seleksi konten. Paparan musik atau video yang tidak sesuai usia anak dapat memberikan dampak negatif. Anak bisa saja menangkap pesan yang tidak ia pahami secara utuh, seperti konsep seksualitas yang disampaikan secara vulgar, atau bahasa kasar yang tidak sesuai usia mereka.

“Anak bisa terlihat lebih dewasa dari usianya, tapi sebenarnya belum mampu memahami apa yang ia tiru. Sikap, ucapan, dan tindakannya menjadi tidak autentik,” jelas Ika, yang juga aktif di Yayasan Pulih.

Halaman Selanjutnya
img_title