Disiplin atau Kekerasan Terselubung? Cara Orang Tua Menghukum Anak yang Perlu Dievaluasi
- Freepik
VIVA Tangerang – Dalam dunia parenting, kata disiplin sering dianggap identik dengan hukuman. Banyak orang tua percaya bahwa tanpa hukuman, anak tidak akan belajar membedakan mana yang benar dan salah. Namun, persoalannya tidak sesederhana itu. Cara orang tua menghukum anak sering kali justru menjadi bentuk kekerasan terselubung yang tidak mereka sadari. Padahal, dampaknya bisa serius bagi perkembangan mental, emosional, bahkan kepercayaan diri anak.
Hukuman memang dimaksudkan untuk memberikan konsekuensi atas perilaku yang keliru. Akan tetapi, ketika hukuman berubah menjadi tindakan fisik atau verbal yang melukai, maka hal tersebut sudah melampaui batas disiplin. Contoh sederhana adalah memukul, menjewer, atau membentak anak dengan nada kasar. Orang tua mungkin menganggap itu sebagai cara cepat agar anak jera, tetapi yang tertanam dalam pikiran anak justru rasa takut dan luka emosional. Ketika pola ini terus berulang, anak bisa tumbuh dengan perasaan tidak aman bahkan kehilangan kepercayaan pada orang tuanya.
Selain kekerasan fisik, ada pula bentuk kekerasan psikologis yang sering tidak disadari. Menghina anak dengan kata-kata merendahkan, membandingkan dengan teman sebaya, atau memberikan hukuman diam yang berlarut-larut adalah beberapa contohnya. Anak mungkin terlihat patuh setelah mendapatkan hukuman tersebut, tetapi sebenarnya mereka belajar untuk menekan emosi, bukan memahami alasan di balik kesalahannya. Kondisi ini bisa berdampak pada kemampuan anak mengelola emosi ketika dewasa.
Penting untuk dipahami bahwa disiplin seharusnya berfokus pada proses pembelajaran, bukan pada membuat anak takut. Anak perlu mengerti mengapa suatu perilaku tidak boleh dilakukan, bukan hanya berhenti melakukannya karena takut pada konsekuensi yang keras. Disiplin yang sehat bertujuan membangun kesadaran, tanggung jawab, dan kontrol diri, sementara kekerasan hanya menumbuhkan kepatuhan semu.
Sayangnya, banyak orang tua masih mewarisi pola asuh lama yang menekankan hukuman fisik sebagai cara mendidik. Mereka percaya bahwa tanpa hukuman keras, anak akan tumbuh manja atau tidak disiplin. Padahal, penelitian menunjukkan bahwa kekerasan hanya memberikan efek jangka pendek dan justru berisiko melahirkan perilaku agresif pada anak.
Oleh karena itu, cara menghukum anak memang perlu dievaluasi. Orang tua sebaiknya mulai beralih dari pola asuh berbasis ketakutan menuju pola asuh yang menekankan komunikasi, pemahaman, dan konsistensi aturan. Memberikan konsekuensi yang logis dan mendidik, seperti membatasi waktu bermain ketika anak lalai belajar, jauh lebih efektif dibanding bentakan atau pukulan. Dengan cara ini, anak belajar bahwa setiap tindakan memiliki dampak, tetapi mereka tetap merasa aman dan dicintai.
Pada akhirnya, garis tipis antara disiplin dan kekerasan terselubung hanya bisa dikenali jika orang tua mau jujur mengevaluasi cara mereka mendidik. Hukuman memang bisa menjadi bagian dari disiplin, tetapi jika dilakukan dengan cara yang merendahkan, melukai, atau menakut-nakuti, maka itu bukan lagi mendidik, melainkan menyakiti. Orang tua perlu mengingat bahwa tujuan utama mendisiplinkan anak bukanlah membuat mereka takut, melainkan membantu mereka tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab, percaya diri, dan mampu mengendalikan diri.